Tugas
Softskill Akuntansi Internasional
Nama :
Bayu Setianto
NPM
: 20209506
Kelas
: 4EB15
Masih
mungkinkah pembangunan dari bawah?
Pembangunan
sering dianggap sebagai suatu obat terhadap berbagai macam masalah yang muncul
dalam masyarakat, terutama pada negara-negara yang sedang berkembang. Era awal
dari teori pembangunan adalah dikemukakannya teori pertumbuhan. Pemikiran
mengenai teori pertumbuhan berasal dari pandangan kaum ekonom ortodoks yang
melihat pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya diasumsikan
akan meningkatkan standar kehidupan (Clark, 1991:10). Pada umumnya mereka
menggunakan GNP (Gross National Product) sebagai salah satu indikator
keberhasilan pembangunan. Akan tetapi, bila diperhatikan lebih jauh, ternyata
pertumbuhan yang ada ternyata tidak bermakna bagi mereka yang berada di
bawah garis kemiskinan. Pada beberapa kasus negara berkembang, pertumbuhan GNP
ternyata tidak selalu diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat
secara luas.
Pembangunan yang terjadi di negara berkembang, khususnya Indonesia memang
tidak bisa dilepaskan pada konteks global, karena bagaimanapun konstalasi
global membawa pengaruh pada sistim politik dan ekonomi Indonesia. Untuk
mengantarkan memudahkan memahami seting kondisi perubahan dari pembangunan
ekonomi kearah pembangunan sosial di ndonesia, pembahasan harus dimulai dari pembangunan
dimensi global, khusunya perubahan pendekatan pembangunan dalam dimensi makro,
yang meliputi 5 (lima) pendekatan, diantaranya: (1) pendekatan pertumbuhan yang
identik dengan pemikiran Rostow, (2) pendekatan pertumbuhan yang identik dengan
pemikiran Adelman dan Morris, (3) Paradigma ketergantungan yang dipelopori oleh
Cardoso, (4) pendekatan Tata Ekonomi Internasional Baru (TEIB) sebagai hasil
studi Club Of Rome, dan (5) Pendekatan kebutuhan pokok yang
dikembangkan oleh Barichole Foundation.
Dalam kaitannya perubahan ekonomi global dan perubahan pendekatan
pembangunan ekonomi di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari pendekatan
pertumbuhan Rostow, karena pada dasarnya Indonesia sudah melewati tahapan
masyarakat tradisional, tahap transisi, dan terhenti pada masa tinggal landas.
Sumawinata dalam Buku Perubahan Sosial dan Pembangunan Indonesia, membahas
mengenai kondisi lepas landas Indonesia.
Sumawinata menganalisis lepas landas Indonesia menggunakan analisis situasi
ekonomi Indonesia. Secara ringkas terdapat tiga syarat mutlak menurut Rostow
yang harus dipenuhi: Pertama, untuk mencapai lepas landas ekonomi,
negara memerlukan tingkat investasi produktif paling tidak sebesar 10%
dari pendapatan nasional. Kedua, pertumbuhan yang tinggi atas satu
cabang atau lebih cabang industri yang sentral. Ketiga, tumbuh dan
berkembangnya kerangka sosial politik yang mampu meyerap dinamika perubahan
masyarakat. (Sumawinata, 1991)
Menurut Sumawinata, pembahasan persoalan lepas landas, Indonesia
lebih memperhatikan pada syarat pertama, dibanding kedua syarat terakhir.
Paradoksnya, dengan mendasarkan diri pada sejarah perkembangan ekonomi
Indonesia justru dua syarat terakhir jauh lebih penting. Karena pada saat
terjadi lepas landas ekonomi, masyarakat mengalami plintiran-plintiran, tekukan-tekukan,
sementara saat yang sama bangunan struktur penyangga masih dalam proses untuk
dibangun.
Selain itu Sumawinata menilai bahwa pembangunan pranata sosial dan politik,
nampaknya tidak diarahkan pada pembangunan prakondisi yang diperlukan untuk
menyongsong masa lepas landas. Sekalipun secara formal terjadi
perubahan-perubahan dalam masalah sosial politik, tapi secara esensial dan
substansial yang terjadi adalah perubahan marginal saja. Perubahan-perubahan
struktur politik dan budaya secara lebih nyata dan mendasar tidak dapat
dielakkan karena diperlukan untuk menyanggah dan menyerap secara kreatif
ketegangan-ketegangan politik dan budaya yang muncul pada masa percepatan
industrialisasi. (Sumawinata, 1991)
Pada akhirnya sebagaimana dikemukakan Sumawinata, kondisi lepas landas
Indonesia mengalami kegagalan disebabkan tidak turut disesuaikannya perubahan
struktur politik dan budaya, sehingga kondisi hutang Indnesia yang besar akibat
pinjaman modal investasi, kegagalan ekonomi berfokus pada pertumbuhan, menjadi
klimaks krisis Indonesia terlebih kondisi politik dan budaya yang masih rapuh,
sebagai simbol kegagalan ekonomi Indonesia adalah pada krisis moneter pada
tahun 1998, yang menstimulasi krisis politik dan sosial.
Pembangunan dari Bawah (Bottom up)
Dalam konteks kekinian, perubahan paradigma pembangunan mengarah pada satu
paradigma baru yaitu “Pembangunan Berkelanjutan”. Pembangunan berkelanjutan
tidak sekedar pembangunan pada aspek ekonomi dengan pengarustamaan pembangunan
sosial, juga mulai dikembangkan konsep pembangunan yang berpusat pada manusia (people
centered development), juga pembangunan yang berpusat pada lingkungan.
Salah satu indikator dari pembangunan berkelanjutan adalah dalam
mengkonstruksikan pembangunan tidak lagi bersifat top down atau
semua program ditentukan oleh pemerintah pusat dan tinggal diimplementasikan di
bawah, melainkan pembangunan yang diinisiasi dari bawah berdasarkan kebutuhan,
harapan dan partisipasi masyarakat atau lebih dikenal bottom up.
Dilihat dari fenomena saat ini, hal yang tidak diperkirakan namun terjadi
adalah perubahan struktur pada masyarakat level bawah (desa), korupsi yang
menggejala terjadi tidak hanya pada tingkat pusat bahkan sudah sampai desa,
rusaknya sosial kapital dengan indikator antar saling mencurigai antar
tetangga, antar masyarakat dengan aparat desa, dengan tokoh adat, hingga tokoh
dengan tokoh agama. Mengaca pada kenyataan tersebut, apakah pembangunan dari
bawah masih relevan dilakukan?.
Pada masanya dan mungkin sampai dengan saat ini, bottom up merupakan
jawaban atas kesenjangan pembangunan yang terjadi selama puluhan tahun, namun
demikian penyakit kronis ketidak saling percayaan antar masyarakat semakin
besar akibat dari kegagalan pembangunan dari bawah berpola coba-coba itu
sendiri. Sebagai ilustrasi terdapat beberapa contoh kerusakan dalam struktur
masyarakat akibat program atau intervensi pemerintah, perusahaan maupun Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM).
1.
Pemerintah
menginisisasi pola bottom up setengah matang, melalui
program-program berbasis masyarakat, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), PNPM
dengan segala turunan dan bidang, yang dalam konteks kenyataannya BLT
mengakibatkan konflik antar rumah tangga, antara masyarakat dengan aparat desa.
PNPM mengakibatkan masyarakat tahu akan ‘uang’ dan ‘project’, munculnya rasa
saling mencurigai antara pengelola program dengan masyarakat, hingga dalam
level desa aparat kesulitan menggerakan gotong royong, dikarenakan masyarakat
mulai memaknai apapun aktivitas dengan bayaran.
2.
Perusahaan
dengan mengatasnamakan program Cororate Social Responsibility (CSR)
yang salah kaprah telah menjadikan masyarakat lokal baik di wilayah kota hingga
di pedalaman menjadi ketergantungan (dependent) terhadap perusahaan, karena
bantuan yang sifatnya charity yang diberikan. Masyarakat Indonesia
yang pada dasarnya memiliki sifat berdikari, malu meminta-minta telah kehilangan
jati dirinya akibat pemberian bantuan yang sifatnya transaksional. Perusahaan
berada dalam satu komunitas bukan membangun SDM tapi malah menjatuhkan jati diri
masyarakat dengan program transaksional, bujuk rayu agar mendapatkan resource,
dan setelah tujuan tercapai, masyarakat dalam kondisi dependent ditinggalkan.
Padahal dampak ketergantungan pada satu sumber sifatnya jangka panjang.
3.
Tidak jarang keberadaan
LSM malah menjadikan masyarakat terkotak-kotak, membelah masyarakat yang pada
mulanya guyub, mengatasnamakan kepentingan masyarakat yang sebenarnya adalah
realisasi dari hidden agenda LSM itu sendiri atas pesanan
pihak lain. Terkadang LSM datang dengan alasan mengadvokasi, namun nilai yang
diperjuangkan adalah nilai global yang sama sekali tidak berdampak lokal. LSM
tidak pernah bertanggungjawab terhadap perpecahan yang terjadi dalam masyarakat
akibat tindakan atas nama advokasi, jika project selesai, LSM tinggal
melenggang dalam masyarakat yang menaruh luka antar mereka. Masyarakat
dijadikan kritis dalam konteks instan, sehingga menjadi kritis yang tidak
konstruktif dan proporsional. Hal yang saat ini terjadi adalah masyarakat
dijadikan tameng akan perbaikan lingkungan mengatasnamakan paru-paru dunia,
namun dalam kenyataannya masyarakat kehilangan sumber ekonomi dan tidak pernah
diberikan alternatif perbaikan dalam peningkatan kesejahteraan.
Saya tidak percaya apakah bottom up masih bisa dijadikan sebagai terobosan
dalam pembangunan yang “mandeg”, toh masyarakat hingga struktur yang paling
bawah pada dasarnya sudah rusak akibat intervensi multi pihak. Ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pemerintah adalah hal yang wajar walaupun menjadi ancaman,
akan tetapi bagaimana jika ketidak saling percayaan hadir pada masyarakat pada
level desa, akibat korupsi dalam komunal, akibat bantuan pemerintah, akibat
transaksional perusahaan dan akibat advokasi LSM yang membelah masyarakat
hingga level kampung, terlebih semakin lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap
tokoh desa, tokoh agama, hingga tokoh adat. Masih mungkinkah pembangunan dari
bawah? Atau harus ditemukan paradigma pembangunan baru?. Rasanya sulit jika
pada level terbawah sudah acuh dan tidak percaya kepada siapapun.
Kesimpulan :
Pada umumnya GNP ( Gross National Product ) digunakan sebagai salah
satu indikator keberhasilan pembangunan. Akan tetapi, bila diperhatikan lebih
jauh, ternyata pertumbuhan yang ada ternyata tidak bermakna bagi mereka
yang berada di bawah garis kemiskinan. Pada beberapa kasus negara berkembang,
pertumbuhan GNP ternyata tidak selalu diikuti dengan peningkatan kesejahteraan
masyarakat secara luas. Pembangunan dari bawah (Bottom Up) sepertinya dapat
dikatakan tidak relevan lagi untuk dilakukan, mengingat bahwa dengan adanya
pembangunan Bottom Up tersebut justru menyebabkan terciptanya korupsi diantara
perangkat-perangkat desa, timbulnya kesenjangan dan rasa saling
ketidakpercayaan antar sesama tetangga, bahkan dapat menimbulkan konflik antar
sesama warga. Dengan adanya wewenang / otorisasi upaya pembangunan di daerah
masing-masing menyebabkan struktur pada masyarakat level bawah (desa) mengalami
perubahan akibat program atau intervensi pemerintah, perusahaan maupun Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM).
Solusi :
Untuk kedepannya pemerintah diharuskan mampu mencari solusi terobosan
terbaru dalam perencanan pembangunan di Indonesia yang lebih merata sehingga
GNP ( Gross National Product ) yang
menjadi salah satu pedoman tingkat kesejahteraan masyarakat pada negara-negara
berkembang khususnya Indonesia tidak menjadi teori semata, mungkin pemerintah
bisa saja tetap menggunakan konsep Bottom Up namun dengan melakukan beberapa
perubahan didalamnya.
Dampak Negatif :
Dengan adanya pembangunan Bottom Up dampak negatif yang terjadi diantaranya
adalah :
- Program-program berbasis masyarakat, seperti
Bantuan Langsung Tunai (BLT), PNPM dengan segala turunan dan bidang yang
diprogramkan oleh Pemerintah menyebabkan masyarakat yang menerimanya mengerti
mengenai “uang” dan juga “project” yang artinya masyarakat mulai
mengartikan segalanya dengan bayaran, terjadi konflik antar sesama warga
atau antara warga dengan aparat yang diakibatkan pendistribusian BLT yang
tidak merata.
- Perusahaan dengan mengatasnamakan program Cororate
Social Responsibility (CSR) yang salah kaprah telah menjadikan
masyarakat lokal baik di wilayah kota hingga di pedalaman menjadi
ketergantungan (dependent) terhadap perusahaan, karena bantuan yang
sifatnya charity yang diberikan. Dengan sifat ketergantungan
inilah yang menyebabkan masyarakat Indonesia menjadi manja dan tidak mau
berusaha daam memenuhi kehidupan perekonomiannya.
- Keberadaan LSM malah menjadikan masyarakat
terkotak-kotak, membelah masyarakat yang pada mulanya guyub, mengatasnamakan
kepentingan masyarakat yang sebenarnya adalah realisasi dari hidden
agenda LSM itu sendiri atas pesanan pihak lain. Masyarakat
dijadikan kritis dalam konteks instan, sehingga menjadi kritis yang tidak
konstruktif dan proporsional. Pada akhirnya hanya menyebabkan konflik
antar sesama warga.
Dampak Positif :
Kemungkinan bila pemerintah mampu melakukan terobosan
terbaru tentang konsep pembangunan Bottom Up ini bukan tidak mungkin jika
pemerataan pembangunan dan kesejahteraan akan tercapai.
Rahmatullah Rahmat, Masih mungkinkah pembangunan dari bawah?
http://www.rahmatullah.net/2010/11/masih-mungkinkah-pembangunan-dari-bawah.html
, 01 - 05 – 2013 , 20.00 WIB
Play King of Spades Casino | Shootercasino
BalasHapusJoin King of Spades casino today and claim your bonus! ✓ Play the classic and unique card 카지노 games such as septcasino Blackjack, Roulette, 제왕 카지노 and Pai Gow.