Minggu, 16 Juni 2013

Contoh kasus L/C

Tugas Softskill Akuntansi Internasional

Nama         : Bayu Setianto
NPM          : 20209506
Kelas         : 4EB15

Pengertian Letter of Credit

Yang dimaksud dengan letter of credit adalah letter of credit yang diterbitkan oleh bank dengan segala macam sifat dan jenisnya. Dalam transaksi jual beli antara eksportir dan importir, penggunaan L/C merupakan cara yang paling aman bagi eksportir maupun importir, karena adanya kepastian bahwa pembayaran akan dilakukan syarat L/C dipenuhi.  Namun demikian cara penbayaran ini biasanya relative lebih besar dibanding dengan pembayaran yang lain.
Atas L/C yang dibuka oleh importir, eksportir atau supplier di luar negeri diberikan hak untuk menarik wesel sebesar nilai harga barang yang dikirimnya atas nama importir. Wesel ini beserta dokumen – dokumen pengapalan barangnya oleh eksportir diserahkan kepada bank koresponden yang menjadi penerima L/C untuk diambil alih.
Pembayaran yang dilakukan atas dasar L/C tersebut berarti bank korensponden membayar lebih dulu atas nama bank pembuka L/C, sehingga tampaknya ada unsur kredit. Jangka waktu antara pembayaran yang dilakukan bank penerima L/C dengan pembayaran yang dilakukan oleh bank pembuka L/C dikenakan sekedar bunga. Karena pembayaran atas dasar L/C ini diberlakukan berdasarkan dokumen pengapalan barang, maka L/C yang dibuka sering disebut documentary letter of credit, yakni pembayaran L/C yang dijamin dengan dokumen.

Dengan tersedianya Letter of Credit :

1.      Penjual (Seller/Exporter)
Mendapat keyakinan akan ketersediaan pembayaran atas barang dan atau jasa yang diserahkan. Dengan telah dibukanya Letter of Credit oleh pihak buyer, seller tidak perlu khawatir mengenai adanya kemungkinan barang dan atau jasa yang diserahkan tidak (kurang)dibayar, sepanjang klausa (Term and Condition) yang tercantum di dalam L/C dipenuhi. Keyakinan tersebut diperoleh dengan adanya penegasan dari pihak bank pembuka L/C bahwa pihak pembeli (buyer) memiliki kemampuan yang cukup untuk membayar dan dalam hal ini bank pembuka L/C menjamin akan mendibit rekening pihak pembeli, jika pihak penjual menyerahkan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan. Bahkan di Indonesia, penguasaan terhadap sebuah Letter of Credit (L/C), bisa dijadikan dasar permohonan"Kredit Export (KE)" guna memperoleh dana lebih awal dari bank devisa, untuk dipergunakan sebagai modal kerja dalam memproduksi barang yang difasilitasi oleh Letter of Credit tersebut. Tentu saja pihak bank akan mengenakan bunga tertentu atas kredit tersebut, yang biasa disebut dengan bunga diskonto.
2.      Pembeli (Buyer/Importer)
Memperoleh keyakinan bahwa dia/mereka hanya akan membayar seller atas penyerahan barang dan atau jasa yang dipesannya sesuai dengan syarat yang telah disepakati sebelumnya yang akan dituangkan di dalam "Term and Condition" L/C yang akan dibuka. Dalam hal ini bank pembuka hanya akan mendebit rekening buyer, jika bank telah menerima dokumen yang dipersyaratkan.

Elemen dan Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Proses Letter Of Credit

Berikut adalah elemen dan pihak-pihak yang terlibat dalam proses sebuah Letter of Credit :
a)      Pembeli (Buyer)
Adalah pihak pembeli yang berinisiatif untuk membuka sebuah Letter of Credit untuk transaksi pembelian yang dilakukannya dengan pihak seller.
b)     Draft of Purchase Order
Adalah sebuah dokumen awal atau draft sebagai bukti atas pemesanan suatu barang dan atau jasa. Draft PO biasanya merupakan bukti pemesanan awal yang sudah 99% final hanya saja pembuat draft (buyer) belum sempat untuk mengubahnya ke dalam bentuk kontrak resmi. Jenis barang, jumlah/volume, spesifikasi barang, standar kwalitas, cara pengemasan (packaging) sudah tersedia lengkap dan telah ditandatangani oleh pihak pembeli maupun penjual.
c)      Purchase Order/Contract
Adalah draft order yang telah dituangkan kedalam lembaran resmi entah itu Official Purchase Order maupun Purchase Contract.
d)     Letter of Credit’s Amount
Menyebutkan Nilai Nominal yang boleh dicairkan atas Letter of Credit tersebut. Nilainya seharusnya sama dengan nilai purchase order / contract. Namun demikian terkadang juga disebutkan batas nilai minimum dan maksimum, yang mana L/C akan ditolak apabila nilai yang akan dicairkan (tercantum) dalam dokumen export lebih kecil (short shipment) atau lebih besar (over shipment) dari melewati batas minimum/maksimium yang disebutkan di dalam L/C.
e)      Issuing Bank
Adalah pihak yang memfasilitasi Letter of Credit, biasanya bank devisa dimana rekening buyer berada. Issuing Bank lah yang menerbitkan Letter Of Credit.
f)       Advising Bank
Adalah Bank yang menerima Letter of Credit sekaligus menyampaikannya kepada pihak penerima Letter of Credit (seller). Jika advising bank memiliki hubungan correspondent, maka selanjutnya Advising Bank akan menjadi pihak yang menjembatani (correspondent) peresentasi dokumen maupun pencairan dana antara Issuing Bank dengan pihak penerima pembayaran (seller).
g)      Correspondent/Confirming Bank
Adalah Bank yang menghubungkan Issuink Bank dengan Advising Bank. Correspondent Bank/Confirming Bank dibutuhkan apabila Issuing Bank tidak memiliki hubungan correspondent dengan Advising Bank yang ditunjuk oleh pihak seller. Mengapa hubungan correspondent dibutuhkan ?, karena untuk lalulintas pembayaran, bank yang berhubungan harus memiliki catatan speciment pejabat bank-nya masing-masing. Jika antara Issuing Bank dengan Advising Bank tidak ad ahubungan correspondent, maka mustahil mekanisme proses sebuah L/C dapat dilaksanakan, untuk itulah diperlukan correspondent bank. Correspondent bank sudah pasti sebuah bank yang memiliki correspondent dengan advising bank.
h)     Beneficiary (seller)
Adalah pihak yang akan berhak menerima pembayaran atas sebuah Letter of Credit, dalam hal ini adalah penjual (seller).
i)        Export Document
Adalah satu (atau lebih) set document export, termasuk Bill of Lading (BL) atau Air Way Bill (AWB). Akan kita bahas di sub pokok bahasan lain.
j)       Time Set
Dalam sebuah L/C juga ditentukan mengenai batas-batas waktu tertentu atas sebuah proses dalam transaksi tersebut, yaitu :
(-). Latest Delivery Time : adalah batas penyerahan akhir dari barang/jasa yang dipesan oleh buyer. Buyer menentukan kapan barang tersebut harus diserahkan. Apabila kondisi penyerahan adalah FOB, maka yang dijadikan patokan adalah tanggal Bill of Lading (B/L) atau Air Way Bill (Awb). Apabila kondisi penyerahan adalah C&F atau CIF maka yang dijadikan patokan adalah tanggal kapan barang di-realease oleh custom pelabuhan tujuan (port of destination).
(-). Latest Presentation Document Date : adalah batas tanggal penerimaan akhir dokumen oleh pihak Issuing Bank. Issuing Bank menentukan batas akhir kapan dokumen export harus diterima oleh Issuing Bank.
k)     Certificate of Inspection
Adalah sebuah dokumen yang berupa sertifikat, yang menyatakan barang/jasa telah diperiksa (inspected) secara seksama, dimana barang/jasa telah memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh pembeli (buyer) sehingga diberikan sertifikat. Certificate of Inspection biasanya dikeluarkan oleh institusi yang ditunjuk sebagai inspector (pemeriksa) oleh pihak pembeli (inspector).


Jenis- Jenis L/C:
  1. Sight L/C
    adalah L/C yang bilamana semua persyaratan dipenuhi, maka bank negosiasi paling lama dalam 7 hari kerja wajib melunasi/membayar nominal L/C kepada eksportir.
    Dengan demikian, Sight L/C  (L/C unjuk) bisa dikategorikan sebagai L/C yang tunai, pada saat diperlihatkan semua dokumen pengapalan (shipping Documents) yang lengkap tanpa penyimpangan (Disccrepancies) pada saat itulah pembayaran akan dilakukan oleh bank kepada eksportir. Oleh karena itu digolongkan sebagai L/C yang aman (Safety L/C).
  2. Usance L/C
    Berbeda dengan Sight L/C, maka Usance LC  dimaksudkan bahwa pembayaran baru bisa dilunasi jika L/C tersebut sudah jatuh tempo yaitu sekian hari dari tanggal pengapalan / tanggal Bill of Lading, dengan demikian berarti eksportir memberi kredit kepada importir dimana barang dikirim terlebih dahulu, kemudian pembayaran dilakukan. Usance L/C dapat dilakukan kalau eksportir sudah percaya dengan importir.
  3. Red Clause L/C
    Jika Usance L/C dibayarkan kemudian hari oleh importir setelah barang-barang pesanan tiba, sebaliknya Red Clause L/C adalah terbalik dibanding dengan Usance L/C, yaitu pembayaran dilakukan oleh bank negosiasi kepada ekspotir sebelum barang dikapalkan. Dengan demikian importir memberi kredit kepada eksportir. Terlihat adanya Pre-Financing bagi eksportir.
  4. Revolving L/C.
    Bila L/C dengan jumlah US$ 200 sebagai nominal L/C pada saat di buka, namun shipment bisa dilakuikan sampai liam kali, maka dalam realisasinya, nominal L/C bertambah menjadi US$ 1,000. Ini diartikan sebagai revolving L/C. Hal ini untuk menghindari biaya pembukuan L/C yang tinggi. Sudah barang tentu dengan revolving L/C pengapalan sebagian (partial shipment) akan diperbolehkan.
  5. Transferable L/C.
    Andaikata pada saat L/C ingin direalisasi, ternyata adanya kesulitan teknis atau kurangnya kapasitas pruduksi, maka L/C tersebut terbuka kemungkinan dialihkan/ditransfer kepada pihak lain / beneficiary ke 2, sehingga yang mengapalkan barang tersebut adalah beneficiery ke 2, sehingga yang mengapalkan barang tersebut adalah beneficiary ke 2.
  6. Standby L/C
    Standby L/C adalah jenis L/C yang berlainan dengan L/C yang berlaku di dunia ekspor impor, karena L/C ini tidak menyangkut pembayaran ekspor impor, teapi hanya berfungsi sebagai jaminan bank/Bank Guarantee, yaitu untuk meng-backup bilamana terjadi wan-prestasi dari benficiary atau pihak yang hutang baik untuk pemborong atau pihak yang berhutang baik untuk penyelesaian bangunan gedung maupun utang lainnya.
  7. Confirmed L/C
    Adalah L/C yang pembayarannya dijamin oleh dua bank, yakni bank pembuat L/C dan bank penyampai L/C atau bank negosiasi, artinya L/C ekspor yang diterima oleh bank penyampai L/C tersebut di-backup / diconfirm kembali / dijamin kembali pembayarannya oleh bank penerima L/C, dengan demikian apabila terjadi kepailitan atau kerugian atas bank pembuka L/C, maka bank penyampai itulah yang akan menyelesaikan pembayaran L/C-nya semua persyaratan L/C dipenuhi.
  8. Back to Back L/C
    Sebenarnya L/C jenis ini adalah L/C yang dibuka berdasarkan L/C yang pertama (master L/C) yang nilai satuan barang dagangannya lebih tinggi yang diterima oleh Trader/perantara. Maka berdasarkan L/C tersebut dibukalah L/C yang baru atau L/C yang kedua, yang sering disebut dengan Back to Back L/C. Ciri khas dari L/C ini dapat dipantau dari pelabuhan tujuan/negara tujuannya. Bila L/C dibuka dari Singapura, pelabuhan tujuannya di Colombo.
    Hal ini memberi indikasi bahwa barang tersebut bukanlah untuk kepentingan trader/pembuka L/C di Singapura, akan tetapi untuk pembeli yang sebenarnya yang berada di luar Singapura, sehingga dipakai Switch Bill of Lading untuk menghilangkan jejak eksportir di Indonesia.
  9. Irrevocable L/C
    Dilihat dari kemungkinan dibatalkannya L/C oleh pihak pembuka L/C dan bank pembuka, maka kita mengenal Irevocable L/C dan Revocable L/C. Yaitu L/C yang tidak dapat dibatalkan dab L/C yang dapat dibatalkan sepihak. UCP 500 menetapkan bila tidak dicantumkan kepastiannya, akan dianggap sebagai Irrevocable.


Contoh kasus L/C pada PT Citra Senantiasa Abadi

PT Citra Senantiasa Abadi atau PT CSA, bergerak dalam bidang usaha industri polypropylene. Teguh Boentoro dan Anhar Satyawan tercatat sebagai pemilik saham, masing-masing 99% dan 1%. Sedangkan pengurus PT CSA, Anhar Satyawan sebagai Direktur dan Teguh Boentoro, Komisaris. Teguh Boentoro, juga berprofesi sebagai Konsultan Pajak pada PB & Co. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bank Indonesia diketahui PT CSA memperoleh perlakuan istimewa dalam memperoleh fasilitas L/C dari Bank Century. Seperti modus PT SPI, L/C untuk PT CSA ini dikeluarkan berdasarkan instruksi Robert Tantular (Pemegang Saham Bank Century), dan Hermanus Hasan Muslim (Dirut Bank Century). Semuanya didasarkan pada keterangan dari Pimpinan Kantor Pusat Operasional (KPO) Senayan yaitu Linda Wangsadinata. Fasilitas Letter of Credit (L/C) No. 0525LC08B yang diberikan kepada PT CSA sebesar US$20 juta. Jaminannya, atau margin deposit berupa deposito senilai US$2 juta (atau 10% dari plafon L/C). Fasilitas L/C tersebut digunakan untuk transaksi impor naphta dari Bunge,S.A, Singapore (Beneficiary) sesuai kontrak (Sales Contract) No. BSA SG S08-5908-1190. Bank penjaminnya (Negotiating Bank) Dresdner Bank Switzerland , Singapore , dan bank koresponden, Dresdner Bank Switzerland , Jakarta .

Analisis :
Transaksi L/C tidak seharusnya ada yang mendapatkan perlakuan istimewa dalam memperoleh fasilitas L/C dari Bank century. Dan tidak semestinya ada campur tangan dari pemegang saham bank century tersebut. Seharusnya ada prosedur komprehensif Khususnya, menyangkut kemampuan atau kondisi keuangan perusahaan yang dijalankan oleh bank yang bersangkutan sesuai dengan Kebijakan Perkreditan Bank dan Pedoman Pelaksanaan Kredit Bank. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), juga mencatat adanya pelanggaran PT CSA terhadap Kebijakan Perkreditan Bank dan Pedoman Pelaksanaan Kredit yang dikeluarkan Bank Century No.20/SK-DIR/Century/IV/2005 tanggal 21 April 2005. Pelanggaran itu, terkait dengan tidak dibuatnya LRKU dan tidak ada perjanjian kredit beserta pengikatan lainnya yang diperlukan.

Pembeli : PT Citra Senantiasa Abadi
Penjual : Bunge,S.A, Singapore (Beneficiary)
Bank Eksportir : Dresdner Bank Switzerland , Singapore
Bank Koresponden, : Dresdner Bank Switzerland , Jakarta
Barang yang diperjualbelikan : Naphta



DAFTAR PUSTAKA



Minggu, 05 Mei 2013


Tugas Softskill Akuntansi Internasional

Nama         : Bayu Setianto
NPM          : 20209506
Kelas         : 4EB15

Masih mungkinkah pembangunan dari bawah?

Pembangunan sering dianggap sebagai suatu obat terhadap berbagai macam masalah yang muncul dalam masyarakat, terutama pada negara-negara yang sedang berkembang. Era awal dari teori pembangunan adalah dikemukakannya teori pertumbuhan. Pemikiran mengenai teori pertumbuhan berasal dari pandangan kaum ekonom ortodoks yang melihat pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya diasumsikan akan meningkatkan standar kehidupan (Clark, 1991:10).  Pada umumnya mereka menggunakan GNP (Gross National Product) sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Akan tetapi, bila diperhatikan lebih jauh, ternyata pertumbuhan yang ada ternyata tidak  bermakna bagi mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Pada beberapa kasus negara berkembang, pertumbuhan GNP ternyata tidak selalu diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas.
Pembangunan yang terjadi di negara berkembang, khususnya Indonesia memang tidak bisa dilepaskan pada konteks global, karena bagaimanapun konstalasi global membawa pengaruh pada sistim politik dan ekonomi Indonesia. Untuk mengantarkan memudahkan memahami seting kondisi perubahan dari pembangunan ekonomi kearah pembangunan sosial di ndonesia, pembahasan harus dimulai dari pembangunan dimensi global, khusunya perubahan pendekatan pembangunan dalam dimensi makro, yang meliputi 5 (lima) pendekatan, diantaranya: (1) pendekatan pertumbuhan yang identik dengan pemikiran Rostow, (2) pendekatan pertumbuhan yang identik dengan pemikiran Adelman dan Morris, (3) Paradigma ketergantungan yang dipelopori oleh Cardoso, (4) pendekatan Tata Ekonomi Internasional Baru (TEIB) sebagai hasil studi Club Of Rome, dan (5) Pendekatan kebutuhan pokok yang dikembangkan oleh Barichole Foundation.
Dalam kaitannya perubahan ekonomi global dan perubahan pendekatan pembangunan ekonomi di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari pendekatan pertumbuhan Rostow, karena pada dasarnya Indonesia sudah melewati tahapan masyarakat tradisional, tahap transisi, dan terhenti pada masa tinggal landas. Sumawinata dalam Buku Perubahan Sosial dan Pembangunan Indonesia, membahas mengenai kondisi lepas landas Indonesia.
Sumawinata menganalisis lepas landas Indonesia menggunakan analisis situasi ekonomi Indonesia. Secara ringkas terdapat tiga syarat mutlak menurut Rostow yang harus dipenuhi: Pertama, untuk mencapai lepas landas ekonomi, negara memerlukan tingkat investasi  produktif paling tidak sebesar 10% dari pendapatan nasional. Kedua, pertumbuhan yang tinggi atas satu cabang atau lebih cabang industri yang sentral. Ketiga, tumbuh dan berkembangnya kerangka sosial politik yang mampu meyerap dinamika perubahan masyarakat. (Sumawinata, 1991)
Menurut  Sumawinata, pembahasan persoalan lepas landas, Indonesia lebih memperhatikan pada syarat pertama, dibanding kedua syarat terakhir. Paradoksnya, dengan mendasarkan diri pada sejarah perkembangan ekonomi Indonesia justru dua syarat terakhir jauh lebih penting. Karena pada saat terjadi lepas landas ekonomi, masyarakat mengalami plintiran-plintirantekukan-tekukan, sementara saat yang sama bangunan struktur penyangga masih dalam proses untuk dibangun.
Selain itu Sumawinata menilai bahwa pembangunan pranata sosial dan politik, nampaknya tidak diarahkan pada pembangunan prakondisi yang diperlukan untuk menyongsong masa lepas landas. Sekalipun secara formal terjadi perubahan-perubahan dalam masalah sosial politik, tapi secara esensial dan substansial yang terjadi adalah perubahan marginal saja. Perubahan-perubahan struktur politik dan budaya secara lebih nyata dan mendasar tidak dapat dielakkan karena diperlukan untuk menyanggah dan menyerap secara kreatif ketegangan-ketegangan politik dan budaya yang muncul pada masa percepatan industrialisasi. (Sumawinata, 1991)
Pada akhirnya sebagaimana dikemukakan Sumawinata, kondisi lepas landas Indonesia mengalami kegagalan disebabkan tidak turut disesuaikannya perubahan struktur politik dan budaya, sehingga kondisi hutang Indnesia yang besar akibat pinjaman modal investasi, kegagalan ekonomi berfokus pada pertumbuhan, menjadi klimaks krisis Indonesia terlebih kondisi politik dan budaya yang masih rapuh, sebagai simbol kegagalan ekonomi Indonesia adalah pada krisis moneter pada tahun 1998, yang menstimulasi krisis politik dan sosial.
Pembangunan dari Bawah (Bottom up)
Dalam konteks kekinian, perubahan paradigma pembangunan mengarah pada satu paradigma baru yaitu “Pembangunan Berkelanjutan”. Pembangunan berkelanjutan tidak sekedar pembangunan pada aspek ekonomi dengan pengarustamaan pembangunan sosial, juga mulai dikembangkan konsep pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development), juga pembangunan yang berpusat pada lingkungan.
Salah satu indikator dari pembangunan berkelanjutan adalah dalam mengkonstruksikan pembangunan tidak lagi bersifat top down atau semua program ditentukan oleh pemerintah pusat dan tinggal diimplementasikan di bawah, melainkan pembangunan yang diinisiasi dari bawah berdasarkan kebutuhan, harapan dan partisipasi masyarakat atau lebih dikenal bottom up.
Dilihat dari fenomena saat ini, hal yang tidak diperkirakan namun terjadi adalah perubahan struktur pada masyarakat level bawah (desa), korupsi yang menggejala terjadi tidak hanya pada tingkat pusat bahkan sudah sampai desa, rusaknya sosial kapital dengan indikator antar saling mencurigai antar tetangga, antar masyarakat dengan aparat desa, dengan tokoh adat, hingga tokoh dengan tokoh agama. Mengaca pada kenyataan tersebut, apakah pembangunan dari bawah masih relevan dilakukan?.
Pada masanya dan mungkin sampai dengan saat ini, bottom up merupakan jawaban atas kesenjangan pembangunan yang terjadi selama puluhan tahun, namun demikian penyakit kronis ketidak saling percayaan antar masyarakat semakin besar akibat dari kegagalan pembangunan dari bawah berpola coba-coba itu sendiri. Sebagai ilustrasi terdapat beberapa contoh kerusakan dalam struktur masyarakat akibat program atau intervensi pemerintah, perusahaan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
1.      Pemerintah menginisisasi pola bottom up setengah matang, melalui program-program berbasis masyarakat, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), PNPM dengan segala turunan dan bidang, yang dalam konteks kenyataannya BLT mengakibatkan konflik antar rumah tangga, antara masyarakat dengan aparat desa. PNPM mengakibatkan masyarakat tahu akan ‘uang’ dan ‘project’, munculnya rasa saling mencurigai antara pengelola program dengan masyarakat, hingga dalam level desa aparat kesulitan menggerakan gotong royong, dikarenakan masyarakat mulai memaknai apapun aktivitas dengan bayaran.
2.      Perusahaan dengan mengatasnamakan program Cororate Social Responsibility (CSR) yang salah kaprah telah menjadikan masyarakat lokal baik di wilayah kota hingga di pedalaman menjadi ketergantungan (dependent) terhadap perusahaan, karena bantuan yang sifatnya charity yang diberikan. Masyarakat Indonesia yang pada dasarnya memiliki sifat berdikari, malu meminta-minta telah kehilangan jati dirinya akibat pemberian bantuan yang sifatnya transaksional. Perusahaan berada dalam satu komunitas bukan membangun SDM tapi malah menjatuhkan jati diri masyarakat dengan program transaksional, bujuk rayu agar mendapatkan resource, dan setelah tujuan tercapai, masyarakat dalam kondisi dependent ditinggalkan. Padahal dampak ketergantungan pada satu sumber sifatnya jangka panjang.
3.      Tidak jarang keberadaan LSM malah menjadikan masyarakat terkotak-kotak, membelah masyarakat yang pada mulanya guyub, mengatasnamakan kepentingan masyarakat yang sebenarnya adalah realisasi dari hidden agenda LSM itu sendiri atas pesanan pihak lain. Terkadang LSM datang dengan alasan mengadvokasi, namun nilai yang diperjuangkan adalah nilai global yang sama sekali tidak berdampak lokal. LSM tidak pernah bertanggungjawab terhadap perpecahan yang terjadi dalam masyarakat akibat tindakan atas nama advokasi, jika project selesai, LSM tinggal melenggang dalam masyarakat yang menaruh luka antar mereka. Masyarakat dijadikan kritis dalam konteks instan, sehingga menjadi kritis yang tidak konstruktif dan proporsional. Hal yang saat ini terjadi adalah masyarakat dijadikan tameng akan perbaikan lingkungan mengatasnamakan paru-paru dunia, namun dalam kenyataannya masyarakat kehilangan sumber ekonomi dan tidak pernah diberikan alternatif perbaikan dalam peningkatan kesejahteraan.
Saya tidak percaya apakah bottom up masih bisa dijadikan sebagai terobosan dalam pembangunan yang “mandeg”, toh masyarakat hingga struktur yang paling bawah pada dasarnya sudah rusak akibat intervensi multi pihak. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah adalah hal yang wajar walaupun menjadi ancaman, akan tetapi bagaimana jika ketidak saling percayaan hadir pada masyarakat pada level desa, akibat korupsi dalam komunal, akibat bantuan pemerintah, akibat transaksional perusahaan dan akibat advokasi LSM yang membelah masyarakat hingga level kampung, terlebih semakin lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap tokoh desa, tokoh agama, hingga tokoh adat. Masih mungkinkah pembangunan dari bawah? Atau harus ditemukan paradigma pembangunan baru?. Rasanya sulit jika pada level terbawah sudah acuh dan tidak percaya kepada siapapun.

Kesimpulan :
Pada umumnya GNP ( Gross National Product ) digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Akan tetapi, bila diperhatikan lebih jauh, ternyata pertumbuhan yang ada ternyata tidak  bermakna bagi mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Pada beberapa kasus negara berkembang, pertumbuhan GNP ternyata tidak selalu diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas. Pembangunan dari bawah (Bottom Up) sepertinya dapat dikatakan tidak relevan lagi untuk dilakukan, mengingat bahwa dengan adanya pembangunan Bottom Up tersebut justru menyebabkan terciptanya korupsi diantara perangkat-perangkat desa, timbulnya kesenjangan dan rasa saling ketidakpercayaan antar sesama tetangga, bahkan dapat menimbulkan konflik antar sesama warga. Dengan adanya wewenang / otorisasi upaya pembangunan di daerah masing-masing menyebabkan struktur pada masyarakat level bawah (desa) mengalami perubahan akibat program atau intervensi pemerintah, perusahaan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Solusi :
Untuk kedepannya pemerintah diharuskan mampu mencari solusi terobosan terbaru dalam perencanan pembangunan di Indonesia yang lebih merata sehingga GNP ( Gross National Product ) yang menjadi salah satu pedoman tingkat kesejahteraan masyarakat pada negara-negara berkembang khususnya Indonesia tidak menjadi teori semata, mungkin pemerintah bisa saja tetap menggunakan konsep Bottom Up namun dengan melakukan beberapa perubahan didalamnya.

Dampak Negatif :
Dengan adanya pembangunan Bottom Up dampak negatif yang terjadi diantaranya adalah :
  1. Program-program berbasis masyarakat, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), PNPM dengan segala turunan dan bidang yang diprogramkan oleh Pemerintah menyebabkan masyarakat yang menerimanya mengerti mengenai “uang” dan juga “project” yang artinya masyarakat mulai mengartikan segalanya dengan bayaran, terjadi konflik antar sesama warga atau antara warga dengan aparat yang diakibatkan pendistribusian BLT yang tidak merata.
  2. Perusahaan dengan mengatasnamakan program Cororate Social Responsibility (CSR) yang salah kaprah telah menjadikan masyarakat lokal baik di wilayah kota hingga di pedalaman menjadi ketergantungan (dependent) terhadap perusahaan, karena bantuan yang sifatnya charity yang diberikan. Dengan sifat ketergantungan inilah yang menyebabkan masyarakat Indonesia menjadi manja dan tidak mau berusaha daam memenuhi kehidupan perekonomiannya.
  3. Keberadaan LSM malah menjadikan masyarakat terkotak-kotak, membelah masyarakat yang pada mulanya guyub, mengatasnamakan kepentingan masyarakat yang sebenarnya adalah realisasi dari hidden agenda LSM itu sendiri atas pesanan pihak lain. Masyarakat dijadikan kritis dalam konteks instan, sehingga menjadi kritis yang tidak konstruktif dan proporsional. Pada akhirnya hanya menyebabkan konflik antar sesama warga.

Dampak Positif :
Kemungkinan bila pemerintah mampu melakukan terobosan terbaru tentang konsep pembangunan Bottom Up ini bukan tidak mungkin jika pemerataan pembangunan dan kesejahteraan akan tercapai.


Rahmatullah Rahmat, Masih mungkinkah pembangunan dari bawah?

Minggu, 07 April 2013


Tugas Softskill Akuntansi Internasional

Nama         : Bayu Setianto
NPM          : 20209506
Kelas         : 4EB15

KURS TRANSAKSI BANK INDONESIA
Per 31 January 2013

Mata Uang
Nilai
Kurs Jual
Kurs Beli
AUD
1.00
10165.08
10061.09
BND
1.00
7873.65
7794.83
CAD
1.00
9725.58
9627.86
CHF
1.00
10713.42
10597.41
CNY
1.00
1552.03
1536.75
DKK
1.00
1771.97
1754.19
EUR
1.00
13219.47
13088.30
GBP
1.00
15401.60
15247.97
HKD
1.00
1256.33
1243.80
JPY
100.00
10729.94
10621.90
KRW
1.00
8.96
8.87
KWD
1.00
34745.10
34280.64
MYR
1.00
3149.97
3115.92
NOK
1.00
1780.29
1760.76
NZD
1.00
8155.45
8068.37
PGK
1.00
4987.03
4496.90
PHP
1.00
239.81
237.33
SAR
1.00
2598.86
2573.13
SEK
1.00
1535.29
1519.21
SGD
1.00
7873.65
7794.83
THB
1.00
327.71
324.04
USD
1.00
9746.00
9650.00




Tugas Akuntansi Internasional
1.     Bapak Warsito mempunyai uang sebesar Rp. 400.000.000. Dia bermaksud membelikan mobil untuk anaknya dengan harga AUD 15.000, dan ingin membeli rumah adiknya dengan harga JPY 14.000. Kemudian Bapak Warsito membutuhkan dana untuk kuliah anaknya sebesar USD 5.000. Berapa jumlah uang Bapak Warsito yang tersisa?
Jawab :
Kurs Jual
AUD 15.000 = 15.000 * Rp. 10.165,08         = Rp. 152.476.200
JPY 14.000 = 14.000 * Rp. 10.729,94           = Rp. 150.219.160
USD 5.000 = 5.000 * Rp. 9.746                     = Rp.   48.730.000 +
                                                                           Rp. 351.425.360
Jumlah Uang yang tersisa = Rp. 400.000.000 – Rp. 351.425.360 = Rp. 48.574.640

2.      Rudi memiliki uang sebesar SGD 2.000, kemudian ia mendapat kiriman uang dari kakaknya sebesar KWD 55, dan dari pamannya sebesar THB 100.000. Lalu uang itu dibelanjakan olehnya sebesar Rp. 10.500.000. Berapa Rupiah uang Rudi sekarang?
Jawab :
Kurs Beli
SGD 2.000 * Rp. 7.794,83     = Rp. 15.589.660
KWD 55 * Rp. 34.280,64      = Rp.   1.885.435,2 
THB 100.000 * Rp. 324,04    = Rp. 32.404.000   +
Uang Rudi                               = Rp. 49.879.095,2
Sisanya = Rp. 49.879.095,2 – Rp.10.500.000 = Rp. 39.379.095,2

3.      Nona Amira mempunyai uang sebesar PHP 7.500, MYR 3.000, dan NOK 5.000, ia ingin membeli 2 buah mobil dengan masing-masing harga USD 3.500 dan CAD 1.000. Berapa Rupiah lagi yang harus dikumpulkan Nona Amira?
Jawab :
Kurs Beli
PHP 7.500 = 7.500 * Rp. 237,33        = Rp.   1.779.975
MYR 3.000 = 3.000 * Rp. 3.115,92   = Rp.   9.347.760
NOK 5.000 = 5.000 * Rp. 1.760,76   = Rp.   8.803.800 +
Uang Nona Amira                                = Rp. 19.931.535
Kurs Jual
USD 3.500 = 3.500 * Rp. 9.746,        = Rp. 34.111.000
CAD 1.000 = 1.000 * Rp. 9.725,58   = Rp.   9.725.580 +
                                                           = Rp. 43.836.580
Uang yang harus dikumpulkan Nona Amira = Rp. 43.836.580 – Rp. 19.931.535 = Rp. 23.905.045

4.      Megantara mempunyai uang sebesar USD 300.000, ia berniat menggunakan uang tersebut untuk membeli rumah dengan harga NZD 3.000, membuka usaha dengan modal MYR 30.000, dan menginvestasikan uangnya sebesar KWD 55.000. Berapa Rupiah sisa uang Megantara?
Jawab :
Kurs Beli
USD 300.000 = 300.000 * Rp.  9.650                        = Rp. 2.895.000.000
Kurs Jual
NZD 3.000 = 3.000 * Rp. 8.155,45                = Rp.      24.466.350
MYR 30.000 = 30.000 * Rp. 3.149,97           = Rp.      94.499.100
KWD 55.000 = 55.000 * Rp. 34.745,10        = Rp. 1.910.980.500 +
                                                                       = Rp. 2.029.945.950
Sisa uang Megantara = Rp. 2.895.000.000 – Rp. 2.029.945.950  = Rp. 865.054.050

5.      Bapak Pandu mengekspor sepatu dan kaos hasil produksi dari usahanya, sepatu dan kaos tersebut akan diekspor ke Negara-negara di Eropa. Dari hasil ekspor tersebut didapatkan uang sebesar EUR 10.500. Lalu Bapak Pandu datang ke bursa valas untuk menukarkannya. Berapa uang yang akan didapat Bapak Pandu bila ditukarkan ke Rupiah?
Jawab :
Kurs Beli
EUR 10.500 = 10.500 * Rp. 13.088,30 = Rp. 137.427.150

6.      Sepulang dari Amerika, Dono memiliki sisa uang sebanyak USD 10.000, kemudian ia datang ke Bursa Valas untuk menukarnya kembali dengan Rupiah, maka berapakah uang yang diperoleh Dono?
Jawab :
Kurs Beli
USD 10.000 = 10.000 * Rp. 9.650 = Rp. 96.500.000

7.      Tuan Antonov ingin pergi ke Thailand, ia mempunyai Rp. 49.156.500, maka ia harus menukarkan uangnya ke Bursa Valas, maka berapa THB yang diterima Tuan Antonov?
Jawab :
Kurs Jual
Rp. 49.156.500 : Rp. 327,71 = THB 150.000

8.      Nyonya Belworn mempunyai uang sebesar Rp 50.000.000. Berapakah uang yang ia terima jika ditukarkan dengan mata uang Euro dan Bath di Bursa Valas?
Jawab :
Kurs Jual
Euro = Rp 50.000.000 : Rp. 13.219,47 = EUR 3.782,3
Bath = Rp. 50.000.000 : Rp. 327,71 = THB 152.573,9

9.      Afandi Yusuf mempunyai uang sebesar GBP 40.000, PHP 1.000, dan SAR 3.000. Dia mendatangi bursa valas untuk menukarnya ke Rupiah. Setelah menukarkannya Afandi membeli sebuah apartemen seharga Rp.400.000.000. Berapa sisa uang Afandi Yusuf?
Jawab :
Kurs Beli
GBP 1.000 = 40.000 * Rp. 15.247,97        = Rp. 609.918.800
PHP 1.000 = 1.000 * Rp. 237,33               = Rp.       237.330
SAR 3.000 = 3.000 * Rp. 2.573,13            = Rp.     7.719.390 +
Uang Afandi                                                = Rp. 617.875.520
Sisa uang Afandi Yusuf adalah = Rp. 617.875.520 – Rp. 400.000.000 = Rp. 217.875.520

10.  Afandi memiliki uang sebesar Rp. 217.875.520, ia pergi ke Bursa Valas untuk menukarkannya ke dalam mata uang Poundsterling. Berapa GBP yang ia terima?
Jawab :
Kurs Jual
Rp. 217.875.520 : Rp. 15.401,60 = GBP 14.146,3

http://www.bi.go.id/biweb/Templates/Moneter/Default_Kurs_ID.aspx?NRMODE=Published&NRNODEGUID=%7b3CE4C8F3-8793-458B-BC5B-A7DC189EF644%7d&NRORIGINALURL=%2fweb%2fid%2fMoneter%2fKurs%2bBank%2bIndonesia%2fKurs%2bTransaksi%2f&NRCACHEHINT=Guest